TAXI NAEN MENGGELORAKAN ADRENALIN
‘Taxi’ Naen Menggelorakan Adrenalin
Oleh: Budi Susilo
Gumpalan awan di atas Pelabuhan Pasar Bersahati Kota Manado, Sulawesi Utara (Sulut) siang hari, sekitar pukul 13.00 Wita, terlihat mulai menghitam. Hembusan angin tak lagi sepoi-sepoi, agak mulai nakal bertiup kuat, Kamis (28/6/2012).
Beberapa orang-orang yang belanja di pasar ini bergegas untuk naiki beberapa perahu, satu di antaranya perahu jurusan ke Kepulauan Naen. Menggendong barang belanjaan, ditenteng dibawa naik ke perahu, supaya aman dan dapat lekas berangkat karena akan segera turun hujan.
Dermaga perahu taxi Naen di Pasar Bersehati Kota Manado_budisusilo |
Tapi beda kala itu, perahu jadwal berangkat ke Pulau Naen Minahasa Utara, Sulut, tidak ada penutup, model perahu terbuka dengan ukuran mini bermesin motor dua. Ukuran lebar bagian tengah perahu ini berkisar empat meter, yang bahan material perahunya dari kayu dengan ciri khas cat merah. “Ayo cepat segera naik. Jangan tunggu lama-lama, mau hujan deras ini,” kata seorang kondektur perahu, menyemangati para penumpangnya untuk segera naik.
Secara kebetulan aku sendiri, sudah berada di perahu bagian paling depan. Ku lihat, kebanyakan barang bawaan para penumpang perahu tersebut sembilan bahan pokok (Sembako). Ada juga yang bawa karung berisi pasir, balok kayu, dan minyak tanah. “Datang ke Manado untuk belanja. Untuk dibawa ke Pulau Naen, dijual lagi,” kata Dedy satu di antara penumpang perahu.
Bagi masyarakat kepulauan, alat tranportasi kapal perahu antar pulau itu disebut ‘taxi’. Umumnya, taxi itu identik dengan tranportasi jalur darat, kendaraan beroda empat, yang termasuk jenis transportasi elit bagi kalangan menengah ke atas. Tapi istilah taxi kali ini ternyata pengertiannya tidak sempit bagi mereka orang-orang pengguna jasa pelintas laut, dari Manado-Pulau Naen.
Tarif sekali jalan naik taxi air Pulau Naen dikenakan Rp 25 ribu. Jadi kalau pulang pergi, harus merogoh kocek sebesar Rp 50 ribu. Dan tidak lupa juga, siapkan juga uang receh, pecahan kecil antara Rp 1000 atau Rp 2000 untuk membayar ongkos perahu kecil. Alasannya, naik taxi di pelabuhan Pasar Bersehati tidak seperti diterminal-terminal kapal yang tersedia dermaga secara baik, kita menepi ke air, langsung dapat injakkan tubuh kapal yang ditumpangi.
Pria berbaju jeans biru duduk santai dipinggir Taxi Naen_budisusilo |
Memulai naik taxi air di pelabuhan Pasar Bersehati, terlebih dahulu naiki perahu kecil sejenis katinting. Ibaratnya, perahu kecil ini menjadi jembatan penyebrang penumpang ke taxi. Tapi perlu hati-hati juga, naik ke perahu kecil ini kita harus melewati batu-batu cadas hasil reklamasi. Batunya besar-besar, menghitam, basah terkena cipratan air laut. Bila kita lewati rintangan ini tidak secara cermat , maka resikonya bisa terpeleset jatuh.
Taxi yang kunaiki kali ini beratapkan langit. Minim fasilitas, duduk seadanya, tanpa juga dilengkapi alat standar penyelamat pelayaran seperti baju pelampung. Agak was-was menaiki perahu jenis ini, coba saja andai di tengah perairan laut ada ombak besar disertai angin kencang apa yang akan terjadi.
Bayangan yang menggerayang negatif, perahu diterjang ombak besar terbalik dan para penumpangnya tercebur ke laut, dan mati tenggelam bagi mereka yang tidak dapat berenang. Bagi mereka yang tidak bisa dengan suasana seperti itu tentu akan panik, menggelorakan adrenalin. Dirundung harap-harap cemas, membuat raga lemas, dan ‘kapok’, tak ingin naik untuk yang kedua kalinya.
Jumlah penumpang saat itu berjumlah 23 orang, ditambah lagi beban barang-barang belanjaan penumpang hampir 100 ton lebih, tentunya perahu memuat banyak barang bawaan. Apalagi, ada satu anak kecil berumuran sekitar tiga tahun, perahu taxi ternyata absen dalam memperhatikan standar keselamatan. “Semoga tidak terjadi apa-apa di perjalanan nanti,” pikir ku.
Taxi Naen berwarna merah persis di samping kanan Taxi Putri Naen_budisusilo |
Sekitar pukul 13.30 Wita, dua mesin motor perahu dinyalakan. Perahu Taxi mulai bergerak, jalan menuju Pulau Naen. Satu kondektur perahu berdiri di paling depan, sebagai penunjuk arah. Ya beginilah, radar atau kompas perahu ini masih mengandalkan penglihatan orang. Sang nahkoda yang berada di bagian paling belakang melihat aba-aba kondektur dalam mengarahkan laju mesin motor perahu.
Tak selang lama, hampir 100 meter dari garis bibir pantai pelabuhan Pasar Bersahati, hujan mulai turun, lumayan deras apalagi ditambah hembusan angin membuat beberapa penumpang menggigil dingin termasuk aku sampai juga merinding. Ini pengalaman pertama, naik perahu tanpa atap disertai cuaca yang sedang tidak bersahabat.
Penyedia jasa perahu hanya sediakan terpal plastik lebar. Tujuannya untuk pelindung barang-barang dan penumpang kala hujan turun mengguyur perahu. Terpal Orange cukup membantu menutup mengamankan, melindungi barang-barang belanjaan penumpang. Ada satu dua orang yang manfaatkan terpal untuk pelindung, selebihnya ada yang membawa payung, atau juga kain tebal.
Namun puji Tuhan, hujan tidak berlangung lama. Awan kembali tunjukan wajah putihnya, memancarkan sedikit terik mentari. Hal ini terasa kala perahu semakin mengarah ke tengah laut, hujan reda, penumpang kapal pun lega bahagia. “Alhamdulillah, hujan berhenti,” tuturku.
Baju ku tidak teralalu kuyup sekali, hanya basah lembab, namun agak tidak nyaman. Pakaian lembab membuat suhu tubuh dingin, bila kekebalan tubuh lemah bisa saja langsung terserang demam, masuk angin, atau juga flu. Tapi ajaibnya, Tuhan berbaik hati, telah selamatkan berikan perlindungan, tubuh masih tetap normal, sehat wal afiat.
Raungan mesin motor keras, laju perahu lebih cepat dibanding perahu besar lainnya seperti perahu Putri Naen, moda transportasi jurusan Pulan Naen. “Enaknya naik perahu ini cepat sekali. Pakai dua mesin motor. Bisa sampai lokasi lebih cepat,” kata Dedy, penumpang perahu tak beratap, sekaligus warga Pulau Naen.
Makin mendekat Pulau Naen, gelombang laut semakin berarus kuat. Goyangan-goyangan terasa, perahu seakan menari, terhipnotis oleh gerak energik air laut. Tentu mereka para penumpang yang duduk ditepi perahu, kala ombak besar akan tersentuh ‘belaian’ air laut. Percikan air asin ke penumpang itu akrab dalam perjalanan perahu taxi Naen, tapi ini tidak masalah, sebab inilah resiko menaiki perahu mini minim keselamatan.
Antisipasi perahu terisi air laut, dilengkapilah mesin generator penghisap air. Cara kerjanya, untuk menjalankan fungsi, mesin memakai bahan bakar bensin, menghisap air yang masuk ke perahu. Hasil hisapan mesin, air kembali di keluarkan ke luar perahu, dibuang ke laut lagi. Mesin ini dibantu berupa slang air yang terhubung dibadan mesin, fungsinya sebagai jalur keluar hasil sedotan air.
Posisi mesin ini ditaruh di bagian tengah perahu. Raungan mesin kencang, terdengar keras oleh penumpang yang duduk di bagian tengah. Perahu ini memang ramai gemuruh mesin, mereka yang duduk di bagian belakang dan tengah, tentu perjalanannya akan terasa diiringi oleh nada teriakan mesin.
Mungkin tanpa mesin ini, perahu bisa tenggelam, karena di bagian permukaan perahu ternyata mudah sekali kemasukan air. Walau air sedikit yang masuk, tapi kalau lama-lama dibiarkan bisa membanjiri, yang akhirnya perahu bisa tenggelam. Itulah kenapa, mesin generator ini ibarat jantung perahu, bila ini terhenti, maka kondisi akan berbalik, perahu akan menjadi ‘skarat’.
Begitulah kesan yang tercermin dari warga kepulauan. Hiruk-pikuknya penuh dinamika keprihatinan. Keterbatasan yang menghinggap dalam kehidupannya, lantas tak membuat patah arang dalam menjalani hidupnya. Pasrah menerima, tetapi tetap terus menghadapi nasibnya dengan berharap ada perubahan yang ke arah lebih baik.
Orang kepulauan, eksistensi hidupnya apa adanya, terbiasa dengan pola gaya lama. Hal ini belum tentu semua orang menginginkannya, naluri manusia ingin hidup dinamis, mengikuti tren perkembangan jaman yang mengejar akan nilai instan, nyaman dan aman.
Beda dengan negeri ini, aneh nan memiriskan. Di saat masih adanya kehidupan manusia yang masih terbatas, penuh resiko tinggi, seperti fenomena alat transportasi warga Pulau Naen yang buruk, tapi ada saja satu dua orang yang masih hidup bergelimang uang penuh keserakahaan. Mengkorupsi anggaran negara sampai milyaran rupiah untuk memuaskan nafsu pribadi dunianya.
Cobalah berbagi, kepada mereka yang masih belum beruntung, maka tentu akan tercipta Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mereka pasti di dalam nuraninya bermimpi, akan kehadiran sebuah alat transportasi Kapal laut penyebrang yang aman, nyaman, dan terjangkau.
Setidaknya, negara bisa mewujudkan mimpi ini, menyediakan transportasi publik yang layak bagi rakyatnya, demi kemajuan warga Pulau Naen dan juga yang lainnya. Kapan ya hal ini dapat teraplikasikan ? kita doakan saja segera terwujudkan demi kebaikan kita bersama. ( )
Komentar
Posting Komentar