PENCARI FAKTA BUKANLAH PENEBAR PETAKA
Hari Kebebasan Pers Internasional
Pencari Fakta Bukanlah Penebar Petaka
Oleh: Budi Susilo
MEMASUKI tahun 1998, Indonesia mengalami paradigma kehidupan berbangsa
dan bernegara baru. Era kekuatan otoriter runtuh, lenyap oleh gaya
pemikiran orang-orang perubahan yang gandrung akan demokrasi yang
terbuka.
Asas kebersamaan saat bernegara itu, merupakan perisai utamanya dalam perjuangankan Republik Indonesia yang jaya. Asas kebersamaan itu ciri yang mencolok di negara demokrasi. Tanpa kebersamaan, maka tidak akan dicapai keadilan sosial, sulit rasanya menuju kejayaan bangsa. Tapi kini, apakah hal ini sudah tercapai di negeri ini? Masih pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Satu hal yang tidak dilupakan dalam kehidupan berdemokrasi di tiap-tiap negara adalah kebebasan pers, maka itulah kenapa di setiap 3 Mei 2012 diperingati Hari Kebebasan Pers Internasional.
Kembali berkaca pada sejarah ke belakang, kala Indonesia masih berada cengkraman pemerintahan orde baru, denyut pers di kontrol oleh pemerintah, seolah pers itu hanya dimiliki oleh kalangan tertentu
Asas kebersamaan saat bernegara itu, merupakan perisai utamanya dalam perjuangankan Republik Indonesia yang jaya. Asas kebersamaan itu ciri yang mencolok di negara demokrasi. Tanpa kebersamaan, maka tidak akan dicapai keadilan sosial, sulit rasanya menuju kejayaan bangsa. Tapi kini, apakah hal ini sudah tercapai di negeri ini? Masih pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Satu hal yang tidak dilupakan dalam kehidupan berdemokrasi di tiap-tiap negara adalah kebebasan pers, maka itulah kenapa di setiap 3 Mei 2012 diperingati Hari Kebebasan Pers Internasional.
Kembali berkaca pada sejarah ke belakang, kala Indonesia masih berada cengkraman pemerintahan orde baru, denyut pers di kontrol oleh pemerintah, seolah pers itu hanya dimiliki oleh kalangan tertentu
Para buruh berdemonstrasi di May Day Jakarta_budisusilo |
Padahal
disinggung oleh 'nabi' jurnalisme Amerika, Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel, dalam kitabnya berjudul The Elements of Journalism: What
Newspeople Should Know and The Public Should Expect, bahwa keberadaan
Jurnalisme itu harus bertindak sebagai pemantau kekuasaan.
Dan tidak lupa juga, Jurnalisme itu harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Jadi apa yang dikatakan pers itu hanya milik pemerintah atau kalangan swasta tertentu, tidaklah dibenarkan. Pers itu harus berkutub pada nilai-nilai universal.
Untung saja, pasca 1998, hiruk-pikuk media massa di Indonesia tak lagi seperti macan ompong. Sudah berani mengkritisi berbagai hal. Tapi kali ini media massa yang mana ya? Di tulisan ini tidak menjawabnya, sebab para pembaca media massa itu sendirilah yang mampu menilainya, mana media massa yang jurnalisme sesungguhnya.
Kembali kepada persoalan mendasar kebebasan pers di Indonesia, apakah bergairah dan mencerdaskan ? Bagaimana atmosfir kebebasan pers di Indonesia, apa hanya sebatas retorika dan teori, atau secara kaffah (menyeluruh) telah dilakukan benar.
Melihat pada momen Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei 2012 ini, berdasarkan catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, masih terdapat pencederaan kebebasan pers di Indonesia. Hasil laporan dari berbagai daerah, masih ada ancaman dan pembunuhan dari para pekerja pers.
Karena itu, atas dasar hal tersebut maka AJI Indonesia pun terus mengusung tuntutan penghentian praktik impunitas terhadap pembunuh para jurnalis. AJI berharap kepada aparat penegak hukum, harus ada pengungkapan kasus-kasus pembunuhan di kalangan jurnalis, agar kebebasan pers itu sesuai apa yang dicita-citakan.
Berdasarkan catatan laporan Divisi Advokasi AJI Indonesia 2012, masih terdapat kasus-kasus pembunuhan yang belum diselesaikan. Kasus ini adalah pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin Jurnalis Bernas Yogyakarta, Naimullah Jurnalis Sinar Pagi, Agus Mulyawan Jurnalis Asia Press, Ersa Siregar Jurnalis RCTI, Elyudin Telaumanua Jurnalis Berita Sore, M Syaifullah Jurnalis Kompas, Adriansyah Matra'is Wibisono Jurnalis TV lokal Merauke dan Ridwan Salamun Jurnalis Sun TV.
Padahal jurnalis itu juga manusia. Jurnalis juga kategori buruh, bukan musuh yang harus diberantas, dibumi hanguskan. Jurnalis itu sama, juga punya keluarga, makan dan minum serta berkembang biak. Jurnalis punya hak hidup seperti manusia umumnya.
Tapi beratnya itu, jurnalis punya tanggungjawab besar. Bekerja untuk masyarakat, mengabdi pada rakyat, memiliki cita-cita pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jurnalis punya amanah besar, yang bila tidak dijalankan sesuai kemaslahatan (kebaikan), maka akan menemukan kehancuran, neraka jahanam yang diterimanya. Inilah resiko besar jabatan seorang jurnalis, menjadi sosok Pencari Fakta yang Bukan Penebar Petaka. Salam pers: Baca, Tulis dan Cerdas, Selamat hari kebebasan pers internasional ! ( )
Dan tidak lupa juga, Jurnalisme itu harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. Jadi apa yang dikatakan pers itu hanya milik pemerintah atau kalangan swasta tertentu, tidaklah dibenarkan. Pers itu harus berkutub pada nilai-nilai universal.
Untung saja, pasca 1998, hiruk-pikuk media massa di Indonesia tak lagi seperti macan ompong. Sudah berani mengkritisi berbagai hal. Tapi kali ini media massa yang mana ya? Di tulisan ini tidak menjawabnya, sebab para pembaca media massa itu sendirilah yang mampu menilainya, mana media massa yang jurnalisme sesungguhnya.
Kembali kepada persoalan mendasar kebebasan pers di Indonesia, apakah bergairah dan mencerdaskan ? Bagaimana atmosfir kebebasan pers di Indonesia, apa hanya sebatas retorika dan teori, atau secara kaffah (menyeluruh) telah dilakukan benar.
Melihat pada momen Hari Kebebasan Pers Internasional 3 Mei 2012 ini, berdasarkan catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, masih terdapat pencederaan kebebasan pers di Indonesia. Hasil laporan dari berbagai daerah, masih ada ancaman dan pembunuhan dari para pekerja pers.
Karena itu, atas dasar hal tersebut maka AJI Indonesia pun terus mengusung tuntutan penghentian praktik impunitas terhadap pembunuh para jurnalis. AJI berharap kepada aparat penegak hukum, harus ada pengungkapan kasus-kasus pembunuhan di kalangan jurnalis, agar kebebasan pers itu sesuai apa yang dicita-citakan.
Berdasarkan catatan laporan Divisi Advokasi AJI Indonesia 2012, masih terdapat kasus-kasus pembunuhan yang belum diselesaikan. Kasus ini adalah pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin Jurnalis Bernas Yogyakarta, Naimullah Jurnalis Sinar Pagi, Agus Mulyawan Jurnalis Asia Press, Ersa Siregar Jurnalis RCTI, Elyudin Telaumanua Jurnalis Berita Sore, M Syaifullah Jurnalis Kompas, Adriansyah Matra'is Wibisono Jurnalis TV lokal Merauke dan Ridwan Salamun Jurnalis Sun TV.
Padahal jurnalis itu juga manusia. Jurnalis juga kategori buruh, bukan musuh yang harus diberantas, dibumi hanguskan. Jurnalis itu sama, juga punya keluarga, makan dan minum serta berkembang biak. Jurnalis punya hak hidup seperti manusia umumnya.
Tapi beratnya itu, jurnalis punya tanggungjawab besar. Bekerja untuk masyarakat, mengabdi pada rakyat, memiliki cita-cita pencerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jurnalis punya amanah besar, yang bila tidak dijalankan sesuai kemaslahatan (kebaikan), maka akan menemukan kehancuran, neraka jahanam yang diterimanya. Inilah resiko besar jabatan seorang jurnalis, menjadi sosok Pencari Fakta yang Bukan Penebar Petaka. Salam pers: Baca, Tulis dan Cerdas, Selamat hari kebebasan pers internasional ! ( )
Komentar
Posting Komentar